Kamis, 27 Desember 2012

SEJARAH RINGKAS SEMINARI ST. FRANSISKUS XAVERIUS KAKASKASEN (Bagian III)

TAHUN PERGOLAKAN PERMESTA 1958-1961

Kapela Maria Di Puncak Kimentur
            Sesudah beberapa tahun seminari menengah berjalan dengan baik, muncul perang saudara atau apa yang disebut “Pergolakan Permesta”. Perang ini tentu membawa pengaruh bagi pendidikan di seminari. Di bawah dentuman mortir dan gerebek senjata serta sambil masuk keluar lobang perlindungan, kehidupan pendidikan seminari nampaknya berjalan terus. Kakaskasen juga menjadi tempat penyingkiran para frater dari Pineleng tatkala seminari Pineleng mendapat sasaran tembakan. Kenangan akan masa pergolakan ini masih tetap ada. Hal ini dapat kita saksikan sendiri kalau kita menjenguk ke bagian belakang kompleks seminari, dimana kita akan menemukan sebuah bukit kecil yang rimbun dengan pohon den dipuncak bukit ini yang terkenal dengan nama ‘Kimentur” nampaklah sebuah kapela St. Perawan Maria. Kapela ini telah didirikan sebagai tanda syukur dan terima kasih kepada ibu Maria atas perlindungannya pada seminari selama masa pergolakan Permesta.
PERKEMBANGAN SEMINARI PASCA PERMESTA
            Dengan usainya Permesta, mulai dirasakan bahwa gedung seminari terlalu kecil dan sempit. Bahkan karena tidak ada tempat lagi, maka siswa-siswa kelas Probatorium terpaksa menumpang di Frateran Tomohon. Untuk perluasan gedung seminari maka bruder-bruder dengan tukang-tukangnya mulai beraksi lagi di seminari Kakaskasen. Bantuan sukarelawan dari umat sekitar bahkan dari para frater dari seminari tinggi Pineleng tidak ketinggalan. Pembangunan ini berjalan selama 5 tahun dan menghasilkan suatu bangunan yang megah dan siap pakai. Tahun 1960, seminari mulai mengikuti ujian Negara untuk tingkat SMP dan hasilnya 100%  memuaskan karena rata-rata setiap tahunnya menjadi juara dari semua sekolah. Ujian Negara untuk tingkat SMA baru mulai sekitar tahun 1965. Semuanya dengan hasil yang memuaskan. Maksud dari ujian-ujian Negara tersebut bukan sekedar memperlihatkan prestasi pendidikan seminari melainkan juga antara lain untuk membantu siswa-siswa yang tidak meneruskan pelajarannya di seminari tetapi dapat melanjutkan di sekolah-sekolah yang lain.
            Pada permulaan tahun pelajaran 1978, staf seminari sudah menganggap bahwa tingkat persiapan (Probatorium) boleh ditiadakan. Karena itu murid-murid yang lulus test diterima langsung duduk di kelas Sexta. Ditingkat ini diberikan pelajaran khusus agar mereka dapat mampu mengikuti pelajaran-pelajaran lanjut di seminari. Jumlah tahun pelajaran di seminari menengah menjadi enam yaitu: Sexta, Quinta, Quarta, Tertia, Poesis dan Rhetorica. Tiga tahun yang pertama itu sama dengan tingkat SLTP sedangkan tiga tahun yang terakhir itu sama dengan tingkat SLTA dengan tambahan khusus sebagai calon imam.

HAWA BARU PENDIDIKAN
            Pada bulan juli 1981 diadakan penerimaan murid baru seminari dan rupanya inilah angkatan terakhir yang berkesempatan untuk mengikuti pendidikan SMP di seminari. Sejak tahun 1982 pihak seminari tidak menerima lagi calon-calon lulusan sekolah dasar. Calon-calon lulusan SMP tidak diizinkan langsung duduk di kelas 1 SMP. Mereka dipersiapkan dahulu selama satu tahun di Kelas Persiapan Bawah (KPB). Dengan demikian tingkat yang ada di seminari dari enam tahun menjadi empat tahun yakni Quarta, Tertia, Poesis dan Rhetorica. Setelah melewati berbagai tantangan akhirnya seminari kakaskasen dapat menikmati angin segar. Pendidikan seminari yang pada dasarnya juga mengikuti kurikulum pemerintah, menghasilkan mutu pendidikan yang tidak kalah bersaing dengan sekolah-sekolah sederajat. Hal ini dapat dilihat dengan prestasi yang dicapai oleh para siswa seminari yang mengikuti ujian Negara. Selama beberapa tahun, ranking para seminaris tetap berada pada posisi puncak.
            Adapun pada tahun 1997, pihak seminari memutuskan untuk mengubah sistem belajarnya lagi, yakni Kelas Persiapan Bawah (KPB) diganti Kelas Persiapan Atas (KPA). Maksudnya adalah kelas yang paling rendah atau kelas Quarta (Kelas 0) kini tingkatnya menjadi kelas satu SMU dan sesudah tamat SMU para siswa diberikan lagi program khusus selama satu tahun untuk mempersiapkan diri buat seminari Agung. Oleh karena perubahan sistem itu maka pada saat ujia Negara tahun 2000 kelas Poesis yang kini sederajat dengan kelas 3 SMU menghadap ujian Negara bersama dengan kelas Rhetorica (angkatan terakhir KPB). Ketika menginjak tahun yubileum seminari yang ke-75, berbagai program dan kegiatan dilaksanakan oleh pihak seminari antara lain karena mengingat usia bangunan-bangunan seminari terutama tembok Kapela yang sudah tua dan rapuh, maka sekitar bulan maret tahun 2003 diadakan renovasi. Selanjutnya, pada tahun 2009, diperoleh bantuan dari pemerintah kota Tomohon untuk pembangunan dua ruang kelas di bagian barat yang sekarang menjadi ruang kelas Rhetorica dan ruang guru.
            Tahun 2011 ini sebagian besar gedung-gedung di seminari St. Fransiskus Xaverius Kakaskasen sudah berusia sekitar 63 tahun. Beberapa bagian bahkan sudah keropos dimakan zaman, misalnya ruang tata usaha, ruang rekreasi dan kamar-kamar pastores, ruang-ruang kelas, ruang tidur, dan ruang studi. maklum bagian dalamnya masih berbahan bamboo. Namun rahmat benih-benih panggilan masih terus bertumbuh terbukti dengan banyaknya pelamar yang mendaftar setiap tahunnya. Semoga panggilan menjadi imam tetap lestari adanya. Benih yang sudah ditanam pasti akan tetap tumbuh berkembang dan berbuah. Seminari dari umat, bersama umat dan untuk umat.
            Demikianlah sejarah ringkas perjalanan seminari Menengah St. Fransiskus Xaverius Kakaskasen. Dan Sejarah akan tetap berlanjut. “Tempora Mutantur Et Nos Mutamur In Illis”, waktu itu terus berubah dan kita akan seiring berubah di dalamnya. (Sekian...)




(Sumber: "Buku Memoria Nostra: Ad Maiorem Dei Gloriam" yang diadaptasi dari Majalah Seminaris "Kimentur" edisi Khusus No.1/thn VII/2003)
Related Articles

Tidak ada komentar:

Posting Komentar