(Written by Diena Ch. Mondong, An Activist Student for Student League Of National Democracy and National Federation Of Indonesia Labour Struggling)
The Writter |
Lueta, seorang perempuan kota dari Manado, yang baru tiba tadi malam, terbujur dingin. Dua lapis kain yang diberi padanya tak cukup menahan dingin, terpaksa Ia menggulungi badan dengan karpet roll yang biasanya dipakai menerima tamu. “Pe dingin disini kang” , lebeh dingin dari puncak Bogor,” katanya kepada orang rumah, dengan dialek Manado.
“Ngana pe nama sapa?” tanya Lueta, “Ratagena Tamboyang,” jawabnya. Beruntung kopi datang menghangatkan diskusi. Kopi yang baru lima menit diseduh langsung diseruput Lueta, maklum, disini panasnya air langsung ditelan embun.
Senyum kerut tertahan dibibir Ratagena. Ia menyembunyikan rasa penasarannya akan maksud kedatangannya meneliti kebudayaan desa yang tinggal seumur jagung itu. “Buat apa Ngana datang jauh-jauh meneliti budaya yang tinggal pakaian saja?”.
Komentar yang pedas itu tak membuat Lueta terkejut. Ia sudah baca dari buku Dr. Bert Adrian Supit, kalau karakter orang Minahasa dikenal suka bicara terus terang, lurus, tidak betele-tele, langsung kepokok persoalan.
Ratagena senyum, menunggu jawaban si paras manis yang sedang duduk didepannya. Ya, kebudayaan itu tangga, tempat manusia naik ke zaman yang tinggi, tanpa itu, orang-orang akan tetap hidup primitif seperti hewan ditengah hutan.
"Seperti kota?" Tanya Ratagena. Tidak! Kau, jangan berjabat tangan dengan kehidupan kota!, mereka saling curiga, rumahnya berpagar tinggi seperti penjara, tak pernah terbuka, bertahun tinggal belum tentu kau kenal, cuman muka kecut yang kau salami. Kau mau manusia di desa begitu, menang gaya, menang pakaian, tapi anti sosial.
Diluar rumah embun baru saja pergi. Tampak kebun kopi, cengkeh, kelapa, sepanjang gunung. Di kolong rumah, orang tua Ratagena sedang kerja mengupas kelapa. Bapak Ratagena seorang petani padi, namanya Alex Tamboyang. Bapaknya sangat ramah, dan darinyalah Lueta memetik cerita kebudayaan-kebudayaan desa yang egaliter.
Mapalus, kata Bapak Alex, itu adalah kebudayaan gotong-royong bertani di desa ini. Umum-nya orang desa adalah petani padi. Setiap petak ladang digarap bersama, semua dapat gilir, perkelompok 10-20 orang yang kerjakan, dan menggarap ladang biasanya makan waktu 2 hari barulah kelar. Besar atau kecil petak ladang, semua dikerjakan sukarela. Maklum disini pegunungan jadi cuma ada ladang padi bukan sawah.
Bapak Alex juga begitu, hari ini gilirannya bekerja diladang temannya. Mawalun bekal dibawa sendiri. paling-paling, di ladang minuman saguer (aren) yang menanti. Kalau dulu usai panen, biasanya ada tari Maengket, ini tarian asli Minahasa dan kadang kalau ada acara-acara tertentu ada juga tarian perang, pengingat melawan penjajah asing. Tetapi sekarang, lebih sering diadakan pemerintah menyambut tamu-tamu asing.
Ekonomi warga bisa dibilang baik, maklumlah, harga Cengkeh naik, sampai 200 ribu rupiah per kilogram, kalau di jaman Orba, harganya rendah cuman Rp. 3.000 per kilogram, karena di monopoli Cendana. Tapi sekarang harga pasarnya naik-turun, tergantung kartel internasional.
Meskipun ekonomi membaik, orang-orang desa tetap memilih membangun rumah panggung. Padahal, harga papan untuk rumah naik, bangun rumah kayu sedikit lebih mahal daripada rumah batu, tapi kata Bapak Alex, pilihan itu karena tradisi.
Hanya sebagian kecil kebutuhan pangan sehari-hari di desa diperoleh dari hasil bertani sendiri, kebutuhan lainnya didatangkan dari pasar diMotoling. Ini membuat kapital di desa tak berkembang, produksi desa tidak tertukar untuk kebutuhan kota. Desa memproduksi koprah, kopi, cengkeh, yang bakal diekspor. Kalau harga pasar bagus, kata Ratagena, artinya Dewa Fortuna berpihak. Ratagena harus pergi ke Motoling, makan waktu 30 menit perjalanan.
***
Siang itu, Mayong baru tiba, teman bangku kuliah Lueta. Semalam, Mayong yang mengantar Lueta ke tempat Ratagena, rumah pemuda ketua Karang Taruna. “Rejeki ayam so patok, Ngana baru datang?”. Dari tempat pesta, katanya. Pantas matanya masih merah. “Ngana mabo Captikus lagi kang?”. Captikus nama minuman khas orang Minahasa.
Ratagena buru-buru pulang. Motornya dibiar terbanting, Ia lari menuju ke rumah, “Mati kita, jalan so diblokade polisi,” katanya dengan wajah panik kepada Bapaknya. “Ratusan Brimob datang, Bapak sembunyi,” pintanya. Keinginan itu ditolak Bapaknya, “Ngana kumpulkan pemuda-pemuda dan orang tua, kong pukul itu tiang listrik, Kita minta rapat di Balai Desa”.
Nyalak senjata dari jauh terdengar. Ini imbas kejadian 9 bulan lalu, 20 April 2012, meletus konflik aparat dengan rakyat. Satu mobil dalmasnya terpanggang, mobil kejaksaan dan delapan mobil pribadi bernasib naas juga. Polisi lari kocar-kacir kehutan. Tamasya pejabat ketambang emas Alason berubah jadi perang. Kejadian itu, puncak dari protes rakyat, setelah ancaman, penembakan, dan penangkapan oleh aparat terhadap tokoh-tokoh masyarakat.
Edison Kesek, seorang pendeta terpandang di desa, sudah lama mendekam di tahanan Polda Sulawesi Utara. Karena sikapnya yang menentang masuknya perusahaan tambang emas, PT. Sumber Energi Jaya, Ia di cap provokator, dan ditahan di Polda Sulawesi Utara.
Di dunia ini cuman mulut penguasa dan polisi yang benar. Kata-kata dari pendeta, seorang yang menjaga imannya, buat melayani kebaikan, sudah tak ada harga dimata mereka. Ini bukti penguasa brengsek. “Kalau kita diam, semaunya akan ditangkap untuk memenuhi penjara di Polda”. Lueta sengaja bicara keras, biar ratusan orang-orang desa yang hadir dalam rapat terbakar semangatnya.
Kepala Desa, yang membuka rapat tampak kaget. “Anda darimana?”. Saya mahasiswa sastra di Univerisitas Samratulangi. Warga disamping berbisik ke Saya, Si buncit itu, Kepala Desa, Markus Marentek, dia orangnya perusahaan. Markus terdiam. Warga mendesaknya untuk berunding dengan aparat, kalau tidak Kabasaran akan jadi perang yang nyata, ancam warga.
Disini jam 17.00 WIT, matahari sudah hilang tertutup gunung. Petang itu, ribuan warga berkumpul di Balai Desa. Tua muda berdiskusi, Ibu-ibu juga terlibat, mereka berinisiatif membuat pertahanan. Jalan ke desa sudah ditutup, batu-batu dan kayu penghambat kendaraan aparat melintang disepanjang jalan. Segala macam alat perang ditangan.
"Mana Kades?", tanya Lueta kepada Ratagena, sudah pergi. Jangan kau harap batang hidungnya muncul lagi. “Ngana harus siap memimpin rakyat,” kata Lueta kepadanya. “Kau Ketua Karang Taruna kan.” Ratagena kaget, dalam hatinya, jabatan yang baru sebulan dipegangnya sudah mendapat tugas maha berat, komandan perang!
Selain Siskamling, Ratagena mengarahkan ratusan pemuda bersiaga di pintu gerbang masuk desa, mereka saling bergantian, sebagian tetap siaga didepan rumah masing-masing. Ibu-ibu diminta membuatkan kopi. Suasana malam itu benar-benar tegang.
Mayong pun tak kalah aktif, bersama pemuda lainnya, Ia menyalahkan api unggun di ujung jalan. “Api unggun untuk bakar babi, tapi kali ini bakar aparat,” kata Mayong dengan kesal.
Tarian perang Kabasaran digelar, suara gendang dipukul-pukul seperti memanggil arwah, orang-orang berdendang, mengelilingi api, menari-nari dengan parang dan tombak. Ini taktik memukul mental aparat polisi. Kata Lueta kepada Rantagena, “lihat intelnya akan melapor, rakyat semangat juang 45, dengan begitu mental mereka ciut”.
Malam itu beruntung tak ada satu nyawa yang melayang. Kemenangan disisi warga. Polisi pulang dengan rasa malu, rasa kecewa yang bukan main, malam itu hanya bisa bunuh nyamuk.
***
(Bersambung...)
Related Articles
ga sabar pengen baca yang part 2 nya,,,,huuhuhuhuhuh,,,,,,seru juga ceritanya gan,,,mantap gan
BalasHapusThanx gan...part 2 nya udah ada dalam postingan.
BalasHapus