Sudah lama kuping Lueta panas oleh kabar kebrutalan aparat di desa Picuan, tapi tak ada yang melawan. Kabar tertembaknya pantat kiri Leri Sumolang, dan remaja Nautri Marentek dilengan kanan, selesai dengan permintaan maaf.
Kabar tentang polisi mabuk yang memukuli warga, sudah lasim didengar. Fredi Lendo, pelipisnya dipopor senjata, badannya dinjak-injak, hanya karena ia bertanya, “tugas kepolisian itu apa”. Jhon Aringking dikeroyok polisi di rumahnya tanpa ada kesalahan. Sementara Fredi Aringking, yang baru masuk rumah, langsung jatuh tersungkur, kepalanya ditembak.
Nasib sama dialami Yani Tanden, Frendi Rumondor, dan Raven Sumangkut. Mereka dianiaya tanpa salah, lalu dipenjarakan. Roy Sumangkut juga ditembak di bagian punggung dan dibagian kaki. Deni Lumapou ditembak dibagian perut. Sampai sekarang, tak ada pengadilan etik.
Perilaku yang mungkin hanya muncul diabad 20 itu, dimasa kolonial, ternyata masih berlaku. Tindakan-tindakan biadab, pukulan, popor senapan, hujan tembak, masih dipakai Kepolisian disini yang katanya sudah mereformasi diri, katanya makin mengayomi dan melindungi?.
Pagi itu, rapat berlangsung alot. Para pejabat Pemerintah Daerah hadir, termasuk Kapolres Minahasa Selatan, dan Camat Motoling memimpin rapat. Lueta tak bersikap moderat. Telinga pejabat seperti disambar gledek.
“Inikah ‘rahmad’ yang diberikan Negara yang sudah merdeka, yang mengenal hukum, dimana polisinya boleh merobek-robek (spanduk) konstitusi negara: Pasal 33 UUD 1945?,” tanya Lueta kepada Camat Motoling.
Tambang akan memberi lapangan pekerjaan dan menambah kas negara, semuanya sesuai undang-undangnya. “Ada SK Bupatinya No. 87 Tahun 2010 tentang IUP PT. Sumber Mineral Jaya”. Ucapan Camat itu langsung disambar protes Lueta.
Perampasan tanah mengorbankan ribuan keluarga, pertanian akan mati dan warga kehilangan lapangan kerja. Untung negara hanya 2,5% dari pajak tambang, dan selama 20 tahun emas dikeruk sampai habis. Yang benar adalah Konstitusi, Pasal 33 UUD 1945, dimana kekayaan negara adalah harta milik rakyat, karena itu, rakyat harus ditanya persetujuannya lebih dulu.
Pejabat-pejabat itu mati kutu. Diatas meja perundingan, tempat dimana rakyat selalu ditipu, kali ini politik diplomasinya menang. Rasa hormat Lueta sudah hilang. Pejabat dibilangnya kecoak, masih juga hidup meski tanpa kepala. “Tidak tahu malu,” kata Lueta.
***
Minggu besok, tanggal 25 Desember, Lueta harus pergi ke Manado, mengantarkan berita perjuangan di desa. Koran-koran di Manado kurang tajam, bukan penyambung hati rakyat, berita yang dimuat melenceng, rakyat dituduh anarkis.
Tiga hari Lueta tinggal dirumah Ratagena, sampai hari itu, tak ada yang tahu kalau Lueta juga seroang aktifis mahasiswi. Hanya Mayong yang tahu maksud sesungguhnya dari kedatangan Lueta ke Desa Picuan, yaitu membangkitkan semangat perjuangan rakyat desa.
Lueta terpaksa berpura-pura, kalau Ia akan meneliti kebudayaan Desa Picuan. Dengan rekomendasi dari Dekan Kampus, Ia berhasil mengelabui pemerintah desa dan aparat, sebab, siapapun yang membela rakyat dia jadi mangsa buruan.
Bukit, tempat Lueta dan Ratagena bersandar, penuh ilalang, dibelakangnya kebun Kopi. Dari bukit itu, Desa Picuan terlihat indah. Tapi sebentar lagi Desa Picuan tinggal papan nama, jika PT. Sumber Mineral Jaya hadir, rakyat akan kehilangan tanahnya.
Jangan percaya. Pemerintah Daerah setali tiga uang dengan pihak perusahaan. Segala dialog yang ditempuh gagal. Namun, kabarnya Komnas-HAM akan datang, Dewan Porvinsi akan buat Pansus Picuan, demikian pula dengan dukungan Pemda Sulawesi Utara.
“Saya harus ke Manado,” kata Lueta. “Lantas, Ngana pe penelitian?” tanya Ratagena. Lueta, “sudah selesai, Gotong-royong dan Kambara itu adalah alat perjuangan”. Ratagena tersenyum malu, rasa simpatik yang besar dalam hatinya kepada Lueta, membuat pipihnya merah.
Lueta paham dengan tatapan Ratagena yang tiba-tiba berubah, matanya menatap dalam, ada perasaan yang tumbuh dalam hati Ratagena. Perasan cinta seorang pemuda. Perasaan yang akan terus digantung oleh Lueta.
Lueta mengajaknya ke Gereja, tempat pemuda-pemudi mempersiapkan penyambutan misa Natal. “Merry Christmas,” katanya kepada Pendeta. Permintaan Lueta di penuhi. Sore sebelum balik, orang-orang dikumpulkan di Gereja untuk musyawarah.
Penyambutan hari Natal ini penting. Hari dimana Kristus dilahirkan. Hari yang dikenang manusia sebagai pengorbanan dan perjuangan atas Bangsa Nasara. Sekarang pun demikian, Lueta mengenang mereka yang telah berjuang, dan ditembak demi kebebasan manusia lainnya. “Kita berdoa buat keselamatan mereka dan keluarganya,” kata Lueta dengan khidmat.
Ini adalah tujuan Kristus, cinta kasih. Selama ada penindasan, ada explotation de l’homme par l’homme, dalam kehidupan kita, maka tujuan Kristus tak tercapai. Segala keberhasilan ada ditangan kita. Usai, Lueta meninggalkan Gereja, rakyat menantarnya menuju mobil angkot microlat biru, yang membawanya meninggalkan desa.
Sudah seminggu. Kenangan di Picuan tetap menyerbu masuk keingatannya. Seperti juga rakyat di desa, Lueta menunggu janji-janji manis para dewan dan penguasa di Manado!
Kabar tentang polisi mabuk yang memukuli warga, sudah lasim didengar. Fredi Lendo, pelipisnya dipopor senjata, badannya dinjak-injak, hanya karena ia bertanya, “tugas kepolisian itu apa”. Jhon Aringking dikeroyok polisi di rumahnya tanpa ada kesalahan. Sementara Fredi Aringking, yang baru masuk rumah, langsung jatuh tersungkur, kepalanya ditembak.
Nasib sama dialami Yani Tanden, Frendi Rumondor, dan Raven Sumangkut. Mereka dianiaya tanpa salah, lalu dipenjarakan. Roy Sumangkut juga ditembak di bagian punggung dan dibagian kaki. Deni Lumapou ditembak dibagian perut. Sampai sekarang, tak ada pengadilan etik.
Perilaku yang mungkin hanya muncul diabad 20 itu, dimasa kolonial, ternyata masih berlaku. Tindakan-tindakan biadab, pukulan, popor senapan, hujan tembak, masih dipakai Kepolisian disini yang katanya sudah mereformasi diri, katanya makin mengayomi dan melindungi?.
Pagi itu, rapat berlangsung alot. Para pejabat Pemerintah Daerah hadir, termasuk Kapolres Minahasa Selatan, dan Camat Motoling memimpin rapat. Lueta tak bersikap moderat. Telinga pejabat seperti disambar gledek.
“Inikah ‘rahmad’ yang diberikan Negara yang sudah merdeka, yang mengenal hukum, dimana polisinya boleh merobek-robek (spanduk) konstitusi negara: Pasal 33 UUD 1945?,” tanya Lueta kepada Camat Motoling.
Tambang akan memberi lapangan pekerjaan dan menambah kas negara, semuanya sesuai undang-undangnya. “Ada SK Bupatinya No. 87 Tahun 2010 tentang IUP PT. Sumber Mineral Jaya”. Ucapan Camat itu langsung disambar protes Lueta.
Perampasan tanah mengorbankan ribuan keluarga, pertanian akan mati dan warga kehilangan lapangan kerja. Untung negara hanya 2,5% dari pajak tambang, dan selama 20 tahun emas dikeruk sampai habis. Yang benar adalah Konstitusi, Pasal 33 UUD 1945, dimana kekayaan negara adalah harta milik rakyat, karena itu, rakyat harus ditanya persetujuannya lebih dulu.
Pejabat-pejabat itu mati kutu. Diatas meja perundingan, tempat dimana rakyat selalu ditipu, kali ini politik diplomasinya menang. Rasa hormat Lueta sudah hilang. Pejabat dibilangnya kecoak, masih juga hidup meski tanpa kepala. “Tidak tahu malu,” kata Lueta.
***
Minggu besok, tanggal 25 Desember, Lueta harus pergi ke Manado, mengantarkan berita perjuangan di desa. Koran-koran di Manado kurang tajam, bukan penyambung hati rakyat, berita yang dimuat melenceng, rakyat dituduh anarkis.
Tiga hari Lueta tinggal dirumah Ratagena, sampai hari itu, tak ada yang tahu kalau Lueta juga seroang aktifis mahasiswi. Hanya Mayong yang tahu maksud sesungguhnya dari kedatangan Lueta ke Desa Picuan, yaitu membangkitkan semangat perjuangan rakyat desa.
Lueta terpaksa berpura-pura, kalau Ia akan meneliti kebudayaan Desa Picuan. Dengan rekomendasi dari Dekan Kampus, Ia berhasil mengelabui pemerintah desa dan aparat, sebab, siapapun yang membela rakyat dia jadi mangsa buruan.
Bukit, tempat Lueta dan Ratagena bersandar, penuh ilalang, dibelakangnya kebun Kopi. Dari bukit itu, Desa Picuan terlihat indah. Tapi sebentar lagi Desa Picuan tinggal papan nama, jika PT. Sumber Mineral Jaya hadir, rakyat akan kehilangan tanahnya.
Jangan percaya. Pemerintah Daerah setali tiga uang dengan pihak perusahaan. Segala dialog yang ditempuh gagal. Namun, kabarnya Komnas-HAM akan datang, Dewan Porvinsi akan buat Pansus Picuan, demikian pula dengan dukungan Pemda Sulawesi Utara.
“Saya harus ke Manado,” kata Lueta. “Lantas, Ngana pe penelitian?” tanya Ratagena. Lueta, “sudah selesai, Gotong-royong dan Kambara itu adalah alat perjuangan”. Ratagena tersenyum malu, rasa simpatik yang besar dalam hatinya kepada Lueta, membuat pipihnya merah.
Lueta paham dengan tatapan Ratagena yang tiba-tiba berubah, matanya menatap dalam, ada perasaan yang tumbuh dalam hati Ratagena. Perasan cinta seorang pemuda. Perasaan yang akan terus digantung oleh Lueta.
Lueta mengajaknya ke Gereja, tempat pemuda-pemudi mempersiapkan penyambutan misa Natal. “Merry Christmas,” katanya kepada Pendeta. Permintaan Lueta di penuhi. Sore sebelum balik, orang-orang dikumpulkan di Gereja untuk musyawarah.
Penyambutan hari Natal ini penting. Hari dimana Kristus dilahirkan. Hari yang dikenang manusia sebagai pengorbanan dan perjuangan atas Bangsa Nasara. Sekarang pun demikian, Lueta mengenang mereka yang telah berjuang, dan ditembak demi kebebasan manusia lainnya. “Kita berdoa buat keselamatan mereka dan keluarganya,” kata Lueta dengan khidmat.
Ini adalah tujuan Kristus, cinta kasih. Selama ada penindasan, ada explotation de l’homme par l’homme, dalam kehidupan kita, maka tujuan Kristus tak tercapai. Segala keberhasilan ada ditangan kita. Usai, Lueta meninggalkan Gereja, rakyat menantarnya menuju mobil angkot microlat biru, yang membawanya meninggalkan desa.
Sudah seminggu. Kenangan di Picuan tetap menyerbu masuk keingatannya. Seperti juga rakyat di desa, Lueta menunggu janji-janji manis para dewan dan penguasa di Manado!
Selesai...
Related Articles
Tidak ada komentar:
Posting Komentar